Awal 2020, Gunung Kidul Sempat Diancam Anthrax

Penulis: Dhita Sari Agustina

Dunia saat ini sedang dihadapkan pada wabah ancaman CoVid19 yang berbahaya bagi manusia. Namun, di Indonesia, sebelum adanya pandemic CoVid19 ini kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta sempat ditetapkan Kondisi Luar Biasa (KLB) untuk kasus bakteri Antraks yang mematikan bagi hewan dan manusia. Sejak Desember 2019 hingga awal 2020 sudah ada 12 orang yang dirawat di RSUD Wonosari, Gunungkidul, karena terindikasi antraks. Dari 12 pasien tersebut, satu orang dilaporkan meninggal dunia. Karena memakan daging sapi yang mati mendadak. Tidak ditemukan kasus antraks di daerah lain sehingga status KLB dapat dicabut. (CNBC Indonesia)

Sejarah Penyebaran Penyakit
Di Indonesia berita tentang penyakit Anthrax pertama kali ditemukan ketika menyerang ternak kerbau di daerah Teluk Betung (Lampung), dimuat dalam “Javasche Courant” tahun 1884. Kemudian pada tahun 1885 diberitakan tentang lebih jelasnya tentang epidemik Anthrax oleh “Kolonial Veslag“ di Buleleng (Bali), Palembang (Sumatera Selatan) dan Lampung. Lalu, pada tahun 1886 penyakit berjangkit di Banten, Padang (Sumatera Barat), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Pulau Rote (NTT) dengan wabah berkali-kali di Karawang (Jawa Barat), Madura (Jawa Timur), Tapanuli (Sumatera Utara), Palembang dan Bengkulu sedangkan wabah di Probolinggo (Jawa Timur) dan Banten terpencar di beberapa daerah. Laporan kejadian penyakit tersebut menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1886 sebaran penyakit telah mencapai 12 dari 34 provinsi. Diduga penyakit Anthrax di Indonesia berasal dari sapi perah asal Eropa dan sapi Ongole asal Asia Selatan yang didatangkan pada pertengahan abad 19.

Selama tahun 1906 s/d 1921 kejadian wabah Anthrax dicatat dalam buku tahunan Departement van Landbouw, Nijverheiden Handel. Kemudian untuk tahun 1922 s/d 1957 dicatat dalam laporan tahunan di Burgerlijke Veeartsenijkundige Dienst (sejak tahun 1942 dinamakan Pusat Jawatan Kehewanan). Selama kedua kurun waktu tersebut letupan wabah terjadi di seluruh Pulau Sumatera.

Pada tahun 1975 kejadian Anthrax di Jambi tercatat mempunyai morbiditas tertinggi yaitu 53 per 100.000 ternak. Saat ini yang merupakan daerah endemis Anthrax di Indonesia adalah 14 provinsi (37 kabupaten/kota) yaitu Sumatera Barat (kasus terakhir tahun 1986 di Desa Sagulube, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Mentawai), Jambi (kasus terakhir tahun 1989), Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Di Yogyakarta (2003), Jawa Timur (2014), Sulawesi Barat (2016) dan Gorontalo (2016). Sampai dengan bulan Oktober tahun 2016 apabila dilihat seluruh kejadian Anthrax di 34 provinsi di Indonesia, maka kasus Anthrax telah terjadi di 22 provinsi dan hanya 7 provinsi yang tidak pernah dilaporkan terjadi kasus yaitu Aceh, Riau, Bangka Belitung, Maluku Utara, Maluku, Papua dan Papua Barat. (Buku Kementan). Dan pada akhir Desember 2019 Gunung Kidul, Yogyakarta yang mendapat ancaman dari penyakit ini. CNBC Indonesia

Salah Satu Penyakit Zoonis

Antraks yang disebut juga dengan Radang Lympha. Merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang merupakan bakteri berbentuk batang besar dengan ujung persegi dan sudutnya tajam dengan ukuran panjang 3 – 5 μm dan lebar 1 – 2 μm. Bakteri ini bersifat Gram positif yang akan tampak berwarna biru ungu di bawah mikroskop bila diwarnai dengan Gram. Pemeriksaan di bawah mikroskop terhadap preparat ulas yang diambil dari specimen darah atau jaringan hewan penderita akan tampak bakteri ini tersusun berpasangan, berantai maupun sendiri sendiridengan gambaran khas seperti ruas pohon bambu / bamboo tree appearance.

Bacillus anthracis dapat membentuk endospora yang berbentuk oval dan terletak central, tidak lebih besar daripada diameter bentuk vegetatifnya. Endospora ini hanya terbentuk apabila bakteri berada di luar tubuh hostnya atau pada tubuh host yang telah mati. Endospora juga dapat ditemukan pada kultur/ biakan, di tanah/ lingkungan, pada jaringan atau darah hewan penderita yang telah mati dan termasuk salah satu penyakit zoonosis. Hewan ternak yang sering terkontaminasi yaitu sapi, kerbau, kambing, domba dan babi. Penyakit antraks dapat menginfeksi dari hewan ke manusia melalui kontak dengan lesi, ingesti/makan daging hewan terkontaminasi dan inhalasi dari spora B. anthraci. (Claudia Clarasinta dan Tri Umiana Soleha 2017)

Kemunculan dari suatu penyakit zoonosis tidak dapat diprediksi dan dapat membawa dampak yang menakutkan bagi dunia, terutama bagi komunitas yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat dan veteriner. Penyakit anthrax juga semakin dibicarakan dan dianggap penting karena selain berpengaruh terhadap Kesehatan manusia maupun ternak, juga berdampak negatif terhadap perekonomian serta perdangangan khususnya ternak secara nasional maupun internasional. Selain itu ternyata penyakit anthrax berpengaruh terhadap Sosio-politik dan keamanan suatu negara karena endospora bakteri ini berpotensi untuk dipergunakan sebagai senjata biologis. Kuman Anthrax apabila jatuh ke tanah atau mengalami kekeringan ataupun dalam lingkungan yang kurang baik lainnya akan berubah menjadi bentuk spora. Spora Anthrax ini tahan hidup sampai 40 tahun lebih, dapat menjadi sumber penularan penyakit baik kepada manusia maupun hewan ternak. Oleh karena itu penyakit Anthrax dapat disebut “penyakit tanah” dan berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa/wabah, meskipun kejadian biasanya terlokalisir di sekitar wilayah tersebut saja.

Hewan dapat tertular antraks melalui pakan (rumput) atau minum yang terkontaminasi spora. Spora yang masuk ke dalam tubuh melalui oral dan akan mengalami germinasi, multiplikasi di sistem limfe dan limpa, menghasilkan toksin sehingga menyebabkan kematian (biasanya mengandung ± 10 9 kuman/ml darah). (Dea Ananda Salsabila dan Sunarno 2019)

Kerentanan hewan terhadap kuman anthrax dapat dibagi dalam beberapa kelompok, antara lain:
1. Hewan-hewan pemamak biak (terutama pada sapi dan domba).
2. Babi tidak begitu rentan, kejadian penyakit anthrax pada hewan bersifat kronis.
3. Anjing, kucing dan bangsa burung relatif tidak rentan tetapi masih dapat terinfeksi secara alamiah.
4. Hewan-hewan berdarah dingin sama sekali tidak rentan.

A. Gejala Hewan yang Terinfeksi Antraks, Cara Pencegahan dan Pemberantasannya
Dalam Buku Pedoman Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular (PHM) Seri Penyakit Hewan Menular (PHM) disebutkan bahwa hewan yang terjangkit anthrax biasanya mengalami demam dengan suhu  mencapai 41 – 42°C, gelisah, tampak lemah, paha gemetar, nafsu makan hilang, dan kejang. Pada kondisi akut, sapi yang terinfeksi bakteri anthrak memiliki ciri-ciri darah akan keluar dari dubur, mulut dan lubang hidung. Darah berwarna merah tua, agak berbau amis dan busuk serta sulit membeku. Pembengkakan di daerah leher, dada dan sisi lambung, pinggang dan alat kelamin luar dan akan mengalami kematian dalam waktu yang singkat.
Pencegahan penyakit Anthrax dapat dilakukan sebagai berikut:

  1. Bagi daerah bebas Anthrax, tindakan pencegahan didasarkan kepada peraturan yang ketat dalam pengawasan pemasukan hewan ke daerah tersebut.
  2. Bagi daerah endemik/enzootik, untuk pencegahan penyakit dilakukan vaksinasi sesuai anjuran diikuti monitoring ketat.
  3. Untuk hewan tersangka sakit dapat dipilih perlakuan, yaitu penyuntikan antibiotik atau kemoterapeutik, penyuntikan serum, penyuntikan serum kombinasi dengan antibiotik atau kemoterapeutik. Dua minggu kemudian disusul dengan vaksinasi.

 

B. Pemberantasan penyakit sesuai ketentuan sebagai berikut:
1. Hewan penderita Anthrax harus diasingkan sedemikian rupa terpisah dengan hewan lain, pengasingan sedapat mungkin di kandang atau tempat hewan sakit. Dekat tempat tersebut dibuat lubang sedalam minimal 2 meter untuk menampung sisa makanan dan tinja dari kandang hewan yang sakit/penampung limbah asal hewan sakit.
2. Hewan sakit jangan dikeluarkan dari tempatnya berdiam dan hewan dari luar jangan dimasukkan ke tempat tersebut.
3. Apabila hewan mati ataupun sembuh atau bilamana lubang itu telah terisi sampai 60 cm dari permukaan tanah, maka lubang tersebut harus ditimbun dengan tanah segar.
4. Yang tidak berkepentingan dilarang masuk ke tempat pengasingan kecuali petugas dan pemelihara hewan sakit atau tersangka sakit. Lakukan sanitasi umum terhadap orang yang bersentuhan dengan hewan penderita Anthrax untuk mencegah perluasan penyakit.
5. Di pintu-pintu masuk halaman atau daerah tempat pengasingan hewan sakit/tersangka sakit dan bila kejadian penyakit bersifat wabah maka di kampung/desa atau daerah tertular dipasang papan bertuliskan “Awas sedang berjangkit penyakit hewan menular Anthrax” yang disertai tulisan dalam bahasa daerah setempat.
6. Bilamana diantara hewan tersangka sakit dalam jangka waktu 20 hari tidak menunjukkan gejala sakit maka hewan tersebut dibebaskan kembali dari pengasingan. Tetapi manakala diantara hewan tersangka sakit timbul kejadian sakit, hewan yang sakit tersebut segera diasingkan.
7. Setelah penderita mati atau sembuh, kandang dan semua perlengkapan yang tercemar harus didesinfeksi. Kandang dari bambu atau alang-alang dan semua alat-alat yang tidak dapat didesinfeksi harus dibakar.
8. Bangkai hewan yang mati karena penyakit Anthrax harus segera dimusnahkan dengan dibakar hangus dalam lubang dan atau dikubur sekurang-kurangnya sedalam minimal 2 meter kemudian dikubur, cegah jangan sampai dimakan oleh hewan pemakan bangkai. Cegah pula perluasan penyakit melalui serangga, pergunakan obat pembasmi serangga yang pemakaiannya sesuai petunjuk dari pabriknya.
9. Apabila kejadian penyakit bersifat wabah maka daerah yang meliputi desa, kecamatan, kabupaten/ kota atau provinsi ditutup dari lalu lintas hewan dan bahan asal hewan. Dalam suatu daerah, penyakit dianggap telah lenyap setelah lewat masa 20 hari sejak mati atau sembuhnya penderita terakhir.

Untuk hewan yang sudah terjangkit penyakit Anthrax dilarang dipotong

C. Tindak Pemberantasan dan Pengendalian
Pengendalian adalah suatu usaha terorganisir di Daerah/ Pusat untuk mengurangi kejadian/kerugian suatu penyakit sampai tingkat terkendali/ tidak berdampak serius terhadap kestabilan kesehatan hewan dan masyarakat.

  1. Penanganan terhadap hewan. Penyakit Anthrax dapat dicegah dengan vaksinasi rutin sesuai anjuran. Hewan yang sakit dapat diobati dengan antibiotik Penicilline dikombinasi dengan roboransia (mengandung kalsium dan lainlain). Pemberian antibiotik secara intra muskuler (IM) untuk ternak dewasa 20.000 IU/Kg dan anak setengahnya, selama 4-5 hari berturut-turut.
  2. Penanganan terhadap kuman. Bacillus anthracis mudah dibunuh dengan pemanasan pada suhu pasteurisasi, macam-macam desinfektansia (formalin 10%, karbol 5%, iodine dan lain-lain) serta oleh pembusukan. Namun kuman setelah menjadi bentuk spora lebih tahan yaitu baru musnah dengan pemberian uap basah bersuhu 120 derajat Celcius dalam beberapa detik, air mendidih atau uap basah bersuhu 100 derajat Celcius selama 10 menit, uap basah bersuhu 90 derajat Celcius selama 45 menit atau panas kering pada suhu 120 derajat Celcius selama 1 jam.
  3. Perlakuan terhadap hasil produksi hewan. Hasil produksi berupa susu, daging serta bahan asal hewan seperti kulit, tulang, bulu dan lain-lain yang berasal dari hewan penderita/mati karena Anthrax sama sekali tidak boleh dikonsumsi atau dimanfaatkan, dan harus dimusnahkan dengan jalan dibakar atau dikubur.

Pada saat ini untuk memperluas epidemik dari bakteri Antrax, pemerintah tiap provinsi mewajibkan adanya Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) untuk perdagangan sapi yang dikeluarkan oleh dokter hewan yang berwenang di suatu daerah. Dasar hukumnya adalah: Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan,

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; sebagaimana telah diubah Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang,

  1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan,
  2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
  3. Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota,
  4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) dan Kesejahteraan Hewan (Kesrawan).
  5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penaggulangan Penyakit Hewan,
  6. Perpres Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pengendalian Zoonosis,
  7. Permentan Nomor: 02/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Pedoman Pelayanan Jasa Medik Veteriner. Dengan biaya gratis.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abawi Ira dan Arulita IF. 2019. Analisis Spasial Faktor Lingkungan Fisik Daerah Endemik Antraks. Higea Journal of Public Health Research and Dvelepment 3 (2)

Clarasinta C dan Soleha TU. 2017. Penyakit Antraks: Ancaman untuk Petani dan Peternak. Jurnal Majority 7 (1)

Kementerian Pertanian Republik Indonesia Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016. Pedoman Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular ( PHM ). Seri Penyakit Anthrax.

Salsabila DA dan Sunarno. 2019. Identifikasi Agen Penyakit Anthrax Pada Sediaan Apus Darah Sapi Potong Di Surakarta. Open Journal Systems. ISSN 1978-3787

Sandi Ferry. 2020. Dunia Heboh Corona, Gunung Kidul Sempat Digoyang Antraks.  https://www.cnbcindonesia.com/news/20200122114149-4-131848/dunia-heboh-corona-gunung-kidul-sempat-digoyang-antraks. ( 22 Januari 2020 )

 

Leave a comment